Minggu, 08 Januari 2012

Bab I
Pendahuluan
Protein merupakan makromolekul utama dalam sel hidup. Protein tersusun atas asam-asam amino yang terikat dalam ikatan peptida. Protein memiliki peran yang sangat penting pada fungsi dan struktur seluruh sel makhluk hidup. Hal ini dikarenakan molekul protein memiliki kandungan oksigen (23%), karbon (50%), nitrogen (16%), hidrogen (7%) dan sulfur (3%). Satu molekul protein terdiri dari 12 sampai 18 macam asam amino dan dapat mencapai ratusan asam amino. Beberapa makanan yang dapat menjadi sumber protein antara lain daging, telur, ikan, susu, biji-bijian, kentang, kacang, dan polong-polongan.
Sifat-sifat fungsional protein adalah sifat-sifat yang menentukan perilaku protein dalam makanan selama pengolahan, penyerapan, dan penyajiannya yang mempengaruhi mutu makanan dan penerimaannya oleh konsumen.
Seorang Biokimiawan USA dan juga profesor untuk Biokimia di Yale bernama Thomas Osborne Lafayete Mendel pernah melakukan percobaan protein kepada kelinci pada tahun 1914. Sekelompok kelinci diberi makanan protein hewani, kelompok laindiberi makanan protein nabati. Hasil dari eksperimen ini adalah kelinci yang diberi protein hewani beratnya bertambah lebih cepat daripada kelinci yang diberi makanan berprotein nabati.
Studi yang lain dilakukan olehseorang peneliti bernama McCay dari Universitas Berkeley. Percobaan yang dilakukannya menunjukkan bahwa kelinci yang diberi makanan protein nabati dapat hidup lebih sehat dan hidup dua kali lebih lama dari yang lain.
Ada banyak sekali studi tentang pengaplikasian protein dalam pangan. Diantaranya adalah suplemen dan obat-obatan. Pengaplikasian protein initentunya merujuk kepada sifat-sifat fungsional dan struktur dari protein. Sumber-sumber protein yang terbatas juga menjadi faktor penting dalam pengaplikasian dan pensubtitusian protein dalam teknologi pangan saat ini. Sumber-sumber protein yang acap kali di modifikasi antara lain susu, kedelai, ikan-ikanan dan telur.

Bab II
Isi
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan agroindustri semakin luas dan produk yang dihasilkan semakin beraneka ragam. Pangan merupakan suatu permasalahan vital karena menyangkut kebutuhan gizi seseorang. Guna menunjang hal tersebut diperlukan makanan yang memiliki nutrisi baik dan tentunya didukung oleh teknologi pengolahan pangan yang tepat.
Untuk mendapatkan makanan-makanan dengan nutrisi yang optimal, diperlukan inovasi-inovasi dalam pengembangan produk pangan yang kreatif dan bernilai gizi tinggi. Pemanfaatan produk pangan berprotein tinggi dapat menjadi salah satu opsi yang dapat dikembangkan dalam mendapatkan produk pangan yang bernutrisi. Berikut adalah beberapa contoh pemanfaatan dan pengaplikasian protein pangan dalam produk-produk olahan pangan.

PENGARUH PENAMBAHAN ISOLAT PROTEIN KORO PEDANG (Canavalia ensiformis L.) TERHADAP KARAKTERISTIK CAKE
Indonesia kaya akan tanaman polong-polongan, diantaranya koro pedang (Canavalia ensiformis L.). Tanaman ini belum banyak dimanfaatkan, padahal ditinjau dari kandungan protein dan potensi pengembangannya, pemanfaatan protein koro-koroan mempunyai harapan. Biji koro pedang mengandung protein cukup tinggi, yaitu sekitar 21,7% dari biji kering (Subagio et al., 2002).
Cake merupakan makanan ringan yang terbuat dari adonan dengan formulasi tepung, gula, telur dan lemak. Protein telur yang bergabung dengan gluten dapat membentuk dinding sel dan menyebabkan penjebakan gas selama pencampuran. Desrosier (1988) menyatakan bahwa dalam cake, seluruh pengaruh pengembangan diperoleh dari udara yang terbungkus putih telur selama pengocokan. Putih telur juga berperanan dalam pembentukan citarasa dan warna cake. Sedangkan kuning telur berfungsi sebagai pengemulsi dan pengempuk struktur cake.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan produk cake dititikberatkan pada kemampuan pembentukan matrik protein, penyerapan dan pengikatan air, pengemulsi dan pembentukan busa dari bahan yang ada dalam formula yang selanjutnya akan terjadi ekspansi gas dalam adonan selama pemanggangan (Kilara, 1994). Untuk itu, beberapa penambahan bahan yang mempunyai kemampuan tersebut diketahui dapat meningkatkan mutu cake yang dihasilkan. Rhee (1994) melaporkan bahwa penambahan protein kedelai dapat meningkatkan pengemulsian lemak dan komponen penyusun lainnya, sehingga memperbaiki warna, tekstur dan ketahanan dari produk-produk bakery.
Khusus untuk cake penambahan 3-5% dari tepung kedelai yang dimodifikasi dengan penambahan lesitin dapat meningkatkan mutu cake yang dihasilkan. Harper et al., (1980) melaporkan bahwa mutu cake dapat ditingkatkan dengan menambahkan protein whey. Isolat protein dari koro pedang mempunyai sifat penyerapan dan pengikatan air yang tinggi, mempunyai kemampuan sebagai pengemulsi dan pembentukan busa (Subagio et al., 2003), sehingga diduga dapat meningkatkan mutu cake. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan isolate protein koro pedang terhadap sifat-sifat cake yang dihasilkan.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah koro pedang (C. ensiformis L.) diperoleh dari Kecamatan Cerme Kabupaten Bondowoso Jawa Timur. Tepung terigu, margarin, telur, bread improver merek SP dan gula diperoleh dari Pasar Tanjung Jember. Sedang bahan kimia yang digunakan berspesifikasi pro analysis dari Merck (Jerman).
            Isolat protein disiapkan berdasarkan pada proses isolasi protein pada amarant (Bejosano dan Corke, 1999) dengan modifikasi. Biji koro pedang sebanyak 500 gram
direndam dalam larutan NaOH 0,01 N (1500 ml) selama 24 jam, kemudian diblender dan disaring untuk mendapatkan filtratnya. Ampas diekstraksi ulang dengan penambahan 1500 ml NaOH 0,01 N. Selanjutnya filtrat digabung dan dilakukan presipitasi dengan HCl 1 N pada beberapa pH, dan dipisahkan dengan sentrifuse. Selanjutnya, pH presipitasi dipilih berdasarkan pengamatan konsentrasi protein pada supernatan yang paling rendah. Diasumsikan pada pH ini, rendemen isolat protein adalah yang paling tinggi. Isolat yang didapatkan, kemudian dicuci dengan ethanol untuk menghilangkan gula. Isolat dikeringkan dengan freeze drier dan disimpan dalam freezer sampai dipergunakan.
            Isolat yang diperoleh, selanjutnya, dianalisa proksimat yang meliputi: kadar air (metode oven), kadar protein (metode Kjeldahl-semi mikro), kadar lemak (metode
Soxhlet), kadar abu (metode pengabuan kering) dan kadar karbohidrat (by difference) (Apriyantono et al., 1989).
Selama presipitasi protein, pH sangat menentukan konsentrasi protein yang masih berada pada filtrat (Gambar 1).
Gambar tersebut menunjukkan bahwa pada pH 6 konsentrasi protein pada filtrat masih tinggi dan semakin menurun hingga mencapai lembahnya pada pH 4. Di
bawah pH 4, konsentrasi protein pada filtrat naik kembali. Ini berarti, titik isoelektrik dari sebagian besar protein koro pedang adalah pada pH 4. Nilai ini sama dengan nilai titik isoelektrik dari protein koro babi (Vicia faba L.) seperti dilaporkan oleh Cepeda et al., (1998). Dengan demikian jumlah isolat protein sangat tergantung dari pH presipitasi, dan berdasarkan hasil tersebut pH presipitasi yang dipilih adalah pH 4. Pada pH ini, rendemen isolat protein adalah yang paling tinggi.
                Setelah dikeringkan dengan freeze drier, isolate protein koro pedang yang dihasilkan dengan presipitasi pada pH 4 mempunyai kandungan seperti tercantum dalam Tabel 1. Dari data ini terlihat bahwa kandungan protein dari isolat masih cukup rendah, yaitu hanya sebesar 54,30%. Hal ini berarti proses pemisahan bahan-bahan lain, terutama karbohidrat, sebelum presipitasi kurang baik. Kesulitan pemisahan karbohidrat ini timbul karena pati koro pedang mempunyai granula halus, sehingga perlu sentrifugasi yang lebih tinggi rpm-nya. Namun demikian, karena kandungan protein yang dominan maka isolat ini diasumsikan dapat digunakan untuk melihat pengaruh penambahan protein koro pedang terhadap karakteristik cake.
Penambahan isolat protein koro pedang hanya berpengaruh kecil terhadap baking loss dari cake yang dihasilkan (Gambar 2). Penambahan sampai 1% meningkatkan baking loss menjadi 7,25 ± 0,29% dari 6,41 ± 0,74% untuk kontrol. Setelah itu baking loss dari cake yang dihasilkan kembali menurun pada penambahan isolate protein 1,5% menjadi sebesar 6,69 ± 0,15%. Penambahan protein koro pedang yang semula diduga dapat meningkatkan Water Holding Capacity (WHC), ternyata hanya rendah pengaruhnya. Hal ini diduga disebabkan oleh pemanggangan yang menggunakan suhu yang cukup tinggi (150oC) dapat menganulir peningkatan WHC akibat penambahan isolat protein.
Pengaruh penambahan isolat potein koro pedang terhadap volume cake dapat dilihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3 terlihat bahwa pada konsentrasi rendah, penambahan isolat protein menyebabkan penambahan volume cake. Namun penambahan yang berlebihan dapat menurunkan volume cake. Penambahan isolat sebesar 0,5 dan 1% menyebabkan volume cake meningkat masingmasing menjadi 833 ± 10 ml dan 854 ± 23 ml. Ini berarti lebih tinggi 9,3 % dan 12,1% jika dibandingkan dengan volume kontrol (762 ± 6 ml). Volume cake menurun kembali menjadi 811 ± 7 ml jika ditambah isolat protein koro pedang sebesar 1,5 %. Namun demikian, volume ini masih 6,4 % lebih besar jika dibandingkan dengan kontrol.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kemampuan isolat koro pedang dalam pembentukan buih. Pengembangan volume cake terjadi dari evolusi dan ekspansi gas yang terbentuk dan terperangkap selama pengocokan (Kilara, 1994). Isolat protein koro pedang yang mempunyai kemampuan dalam pembentukan buih, membantu proses ini selama pengocokan. Namun demikian penambahan yang berlebihan dari isolat ini dapat mengganggu matriks gluten, sehingga selama pemanggangan kemampuan menahan gas menjadi menurun yang menyebabkan turunnya volume cake yang dihasilkan.
Pengaruh penambahan isolat potein koro pedang pada berat jenis cake dapat dilihat pada Gambar 4. Dari gambar ini terlihat bahwa pada konsentrasi rendah, penambahan isolat protein menyebabkan pengurangan berat jenis cake. Namun penambahan yang berlebihan dapat meningkatkan berat jenis cake. Penambahan isolate sebesar 0,5 dan 1% menyebabkan berat jenis cake berkurang masing-masing menjadi 0,330 ± 0,004 g/ml dan 0,322 ± 0,011 g/ml. Ini berarti lebih kecil 9,2 % dan 11,4% jika dibandingkan dengan berat jenis kontrol (0,363 ± 0,005 g/ml). Berat jenis cake meningkat kembali menjadi 0,340 ± 0,003 g/ml jika ditambah isolat protein koro pedang sebesar 1,5 %. Namun demikian, berat jenis ini masih 6,4 % lebih kecil jika dibandingkan dengan kontrol. Karena baking loss antar perlakuan tidak besar perbedaannya, maka berat jenis dari cake yang dihasilkan beranalog dengan perubahan volume cake akibat dari penambahan isolate protein koro pedang.
Penambahan isolat protein koro pedang berpengaruh pada tekstur dari cake yang dihasilkan (Gambar 5). Nilai tekstur cake menurun akibat penambahan isolat protein koro pedang hingga 1%, yaitu: 275,5 ± 4,2, 204,5 ± 14,8 dan 136,9 ± 10,7 g masingmasing untuk kontrol, 0,5 dan 1%. Selanjutnya kembali nilai tekstur meningkat menjadi 213,8 ± 8,6 g. Hal ini berarti penambahan isolat protein hingga 1% dapat melunakkan tekstur cake yang dihasilkan, tapi mengeras kembali jika ditambahkan lebih dari 1%.
Tekstur cake dipengaruhi oleh kekakuan jaringan tiga dimensi, serta ukuran dan penyebaran rongga-rongga dalam cake. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa isolate protein koro pedang mampu menurunkan tegangan permukaan dari sistem emulsi, sehingga akan memperkecil besaran buih yang dihasilkan selama pengocokan. Hal ini akan menyebabkan distribusi rongga-rongga cake akan menjadi baik, sehingga tekstur akan menjadi lunak. Namun demikian penambahan yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan matriks gluten, sehingga dapat meningkatkan kembali kekerasan dari cake.

Pengaruh Penambahan Kacang Tunggak (Vigna Unguiculata) dan Konsentrasi Bahan Penggumpal (CaSO4) Pada Sifat-sifat Tahu Sutera Yang Dihasilkan
Tahu adalah produk makanan berbentuk padat lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai dengan cara pengendapan protein dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diijinkan. Di pasar ditawarkan berbagai jenis tahu, misalnya tahu Sumedang, tahu Bandung dan tahu sutera yang masing-masing mempunyai kenampakan, rasa dan tekstur yang berlainan.
Tahu sutera (silken tofu) atau tahu lunak (kinugoshi tofu) pada umumnya dibuat dari sari kedelai yang diberi bahan penggumpal Kalsium sulfat atau GDL (Glucono Delta Lacton). Tekstur tahu sutera lunah dan halus disebabkan terdapatnya kadar air yang tinggi. Hou, et al. (1997) menyatakan bahwa cara mengkonsumsi tahu sutera dapat dikonsumsi secara langsung, dengan diberi kecap atau digunakan sebagai bahan pencampur pada pembuatan soup.
Produksi kedelai di Indonesia dari tahun ke tahun semakin mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari data impor yang besar, yaitu sekitar 683.799,720 ton pada tahun 2000 (Anonim, 2000). Keadaan tersebut memunculkan suatu upaya pemanfaatan jenis kacang-kacangan lain yang bersifat dapat mensubstitusi produk yang berbahan dasar kedelai. Adanya substitusi pada bahan baku kedelai dapat mengurangi penggunaan kedelai yang cukup besar di Indonesia. Salah satu jenis kacang-kacangan yang mungkin dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan dasar kedelai adalah kacang tunggak atau kacang tolo. Kadar protein kacang tunggak (kacang tolo) sekitar 24,4% lebih sedikit dibanding kedelai 34% (Anonim 1981). Disamping itu harga kacang tunggak jauh lebih murah jika dibandingkan dengan kedelai.
Keberhasilan pembuatan tahu sutera diantaranya dipengaruhi oleh jenis bahan penggumpal dan pengadukan antara sari kedelai dan bahan penggumpal. Bahan penggumpal jenis CaCl2 dan MgCl2 jika digunakan untuk membuat tahu akan menghasilkan tahu yang bertekstur kasar, keras dan berbutir. Bahan penggumpal jenis
Calsium sulfat dan GDL jika digunakan sebagai penggumpal pada pembuatan tahu akan menghasilkan tahu yang bertekstur halus, lunak dan curdnya seragam. Semakin tinggi suhu pada saat terjadinya penggumpalan protein kedelai maka akan dihasilkan tahu yang keras demikian pula laju pengadukan yang semakin cepat pada saat ditambahkan bahan penggumpal pada sari kedelai akan dihasilkan tahu yang lebih keras (Saio, 1979 dalam Hou, et al. 1997).
Dengan beberapa alasan tersebut, maka dilakukan penelitian pembuatan tahu sutera dengan bahan dasar kedelai yang disubstitusi dengan kacang tunggak. Agar dihasilakan tahu sutera yang bertekstur halus, maka digunakan jenis bahan penggumpal Calsium sulfat. Pemilihan penggunaan Calsium sulfat dengan pertimbangan harganya murah dan mudah diperoleh.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan tahu sutera yang berbahan dasar kedelai yang disubstitusi dengan kacang tunggak yang bertekstur halus, lunak dan disukai oleh panelis. Selain itu untuk mengetahui pengaruh dan banyaknya substitusi kacang tunggak dan konsentrasi Calsium sulfat pada sifat kimia, tekstur dan kesukaan tahu sutera oleh panelis.
Kacang kedelai yang digunakan adalah kedelai import jenis super dan kacang tunggak diperoleh dari pasar Beringharjo, Yogyakarta. Bahan kimia yang digunakan diantaranya adalah : NaOH Pa Merck, Na2S2O4. 5H2O Pa Merck, K2SO4 Pa Merck, CaSO4. 2H2O Pa Merck, CaCl2 Pa Merck, HgO Pa Merck, CuSO4 Pa Merck, H2SO4 Pa Merck, Indikator MR-BCG dan Aquades. Bahan-bahan kimia tersebut didapatkan dari laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Univeritas Wangsa Manggala, Yogyakarta.
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan konsentrasi bahan penggumpal yang sesuai untuk pembuatan tahu sutera. Cara penelitian pendahuluan adalah sebagai berikut : sebanyak 100 g kedelai direndam selama 8 jam, selanjutnya dihilangkan kulitnya dan diblender dengan ditambah air hangat 100 ml. Selanjutnya disaring dan padatannya ditambah air hangat lagi sebanyak 300 ml untuk memperbanyak protein terekstrak pada susu kedelai. Susu kedelai yang diperoleh dimasak pada suhu 95-98 oC selama 25 menit dan didinginkan pada suhu 70 oC. Kemudian ditambahkan bahan penggumpal berturut-turut 8 g/kg kedelai, 10g/kg kedelai dan 12g/kg kedelai, sambil diaduk secara kontinu. Setelah itu akan terbentuk curd dan dicetak dengan kain saring dengan diberi beban. Ternyata pembuatan tahu dengan bahan penggumpal konsentrasi 8g/kg kedelai tidak menghasilkan curd, sehingga ditentukan penambahan konsentrasi bahan penggumpal 10g/kg kedelai, 12 g/kg kedelai dan 14g/kg kedelai. Penelitian utama dilakukan sebagai berikut : disiapkan bahan baku pembuatan tahu, yaitu kedelai dan kacang tunggak. Ditimbang 100 g, 90 g, 80 g dan 70 g kedelai, dan ditimbang kacang tunggak berturut-turut 10% (10 g), 20% (20 g) dan 30% (30 g). Kedelai dan kacang tunggak direndam selama 8 jam, kemudian dicuci dan dihilangkan kulitnya. Setelah itu masing-masing bahan digiling dengan ditambah air perbandingan 1 : 1 (kedelai : air maupun kedelai dan kacang tunggak : air). Berikutnya disaring dan dibilas dengan air perbandingan 1 : 3 sehingga dihasilkan sari kedelai. Tahap kedua adalah pemanasan sari kedelai pada suhu 95-98 oC selama 25 menit dan dilakukan penyaringan untuk mendapatkan filtrat dan didinginkan pada suhu 70oC. Setelah itu dilakukan penggumpalan dengan Calsium sulfat (CaSO4) yang konsentrasinya bervariasi, yaitu 10 g/1 kg kedelai kering, 12 g/1 kg kedelai kering, 14 g/1 kg kedelai kering dan diadukan selama 15 menit. Selanjutnya dimasukkan dalam kain berpori (kain saring untuk pembuatan tahu) dan diberi bahan pemberat untuk menekan air (whey) yang tidak dikehendaki.hingga dihasilkan tahu sera. Tahu sutera yang dihasulkan selanjutnya dianalisa kadar air (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji, 1984); kadar protein (Mikrokjeldahl, AOAC, 1970 dalam Sudarmadji, 1984), tekstur (Alat Lloyd Instrument Tester), Uji Kesukaan (Hedonic Scale Scoring, Kartika, 1988). Rancangan percobaan yang digunakan adalan Rancangan Acak dalam Blok Lengkap (RCBD = Randomized Complete Block Design) yang terdiri dari 2 faktorial, yaitu faktor substitusi kacang tunggak (10%, 20% dan 30%) pada kedelai dan factor konsentrasi bahan penggumpal yaitu CaSO4 10 g/1 kg kedelai kering, CaSO4 12 g/1 kg kedelai kering, CaSO4 14 g/1 kg kedelai kering . Data hasil penelitian dianalisa dengan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 0,05. Jika terdapat beda antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’t Multiple Range Test) pada tingkat kepercayaan 0,05.
Bahan dasar yang digunakan adalah kedelai import jenis super dan kacang tunggak. Hasil analisa komponen kimia bahan dasar dapat dilihat pada Tabel 1.
Mutu kedelai berdasarkan kadar airnya dibedakan menjadi mutu pertama yaitu kedelai dengan kadar air maksimal 13%, mutu kedua dan ketiga kadar airnya 14% dan mutu keempat kadar airnya 14% (Anonim, 1992). Kadar air kacang tunggak yang digunakan sebagai bahan dasar lebih besar dibandingkan kadar air kacang tunggak menurut Slamet dan Tarwotjo (1980) sebesar 13,5 % bb. Perbedaan ini dimungkinkan terjadi karena beberapa sebab, misalnya waktu panen, cara penyimpanan dan sebagainya. Kadar protein kedelai yang digunakan sebagai bahan dasar sebesar 38,29% bk serupa dengan kadar protein kedelai menurut Anonim (1981), yaitu sebesar 34,90% bk. Perbedaan tersebut dapat terjadi diantaranya karena beberapa faktor misalnya asal bahan, umur panen, musim pada saat panen dan sebagainya.
Hasil analisa kadar protein tahu sutera yang berbahan dasar kedelai dan kacang tunggak dengan perbedaan konsentrasi bahan penggumpal (CaSO4) dapat dilihat pada Tabel 3.
Keterangan :
· Data merupakan rerata 2 ulangan percobaan dari 2 ulangan analisa
· Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu kolom dan satu baris
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar uji jarak berganda Duncan’s pada
taraf kepercayaan a<5%
            Dari Tabel 3. dapat dilihat hasil uji statistik (DMRT) bahwa tidak ada interaksi antara perbedaan bahan dasar dan konsentrasi bahan penggumpal pada kadar protein tahu sutera yang dihasilkan. Perbedaan konsentrasi bahan penggumpal menyebabkan kadar protein tahu sutera berbeda, demikian juga perbedaan perbandingan antara kedelai dan kacang tunggak sebagai bahan dasar pembuatan tahu sutera.
Pembentukan tahu dengan bahan penggumpal CaSO4 dapat terjadi karena adanya proton (ion bermuatan positif Ca+) dari ion kalsium akan menetralisir muatan negative dari protein yang terdenaturasi oleh panas (Liu, 1999). Semakin besar konsentrasi bahan penggumpal yang digunakan untuk pembuatan tahu sutera maka akan semakin banyak muatan negatif protein yang dinetralisir oleh Ca+ sehingga akan semakin besar protein yang membentuk gel (tahu).
Kadar protein tahu sutera dipengaruhi oleh bahan dasar yang digunakan. Semakin besar substitusi kacang tunggak pada bahan dasar, maka kadar protein semakin kecil. Kadar protein kacang tunggak 26,75 % (bk) lebih kecil dibanding kadar protein kedelai 38,29 % (bk).

PENGARUH SUBSTITUSI TEPUNG KEDELAI TERHADAP KADAR PROTEIN DAN DAYA TERIMA TEPUNG GAPLEK SERTA HASIL OLAHANNYA
Terjadinya kondisi rawan pangan di suatu daerah cenderung menyebabkan terjadinya perubahan pola makan masyarakat. Dengan kata lain, bila terdapat kelangkaan sumber makanan pokok tertentu seperti beras, akan mendorong masyarakat segera mencari alternatif makanan pokok lain dengan nilai jual yang lebih rendah dan ketersediaan yang memadai, misalnya ubi kayu. Di Indonesia, ubi kayu merupakan makanan pokok ketiga setelah beras dan jagung. Propinsi yang termasuk ke dalam lima besar penghasil ubi kayu antara lain adalah Jawa Timur (295.244 ha), Jawa Tengah (272.912 ha), Jawa Barat (160.215 ha), Lampung (144.487 ha) dan Nusa Tenggara Timur (73.929 ha) (Rukmana, 1997).
Rata-rata luas panen ubi kayu di Jawa Tengah mencapai 215.374 Ha/ tahun, dengan jumlah produksi mencapai 3,4 juta ton. Produsen ubi kayu terbesar adalah kabupaten Wonogiri, dengan produksi lebih dari 800 ribu ton/tahun, diikuti Banjarnegara, Banyumas dan Pati dengan rata--rata produksi lebih dari 200 ribu ton/tahun (BBKP-Jateng, 2005) .
Salah satu bentuk hasil olahan dari ubi kayu adalah gaplek. Gaplek merupakan ubi kayu yang dikeringkan dengan kadar air ± 14% (Tjokroadikoesoemo, 1993). Gaplek mempunyai nilai sosial budaya yang cukup tinggi di masyarakat mengingat perannya yang sangat essensial sebagai sumber pangan utama masyarakat selain beras dan jagung sejak jaman penjajahan Belanda. Di saat rawan pangan, gaplek selalu muncul sebagai pahlawan dalam membantu pengentasan kekurangan pangan di masyarakat. Berawal dari nilai sejarah inilah, penghargaan masyarakat terhadap gaplek cukup tinggi dan sangat beralasan.
Penelitian Sugeng-Hidayat, et. al. (2000) di dua kecamatan di kabupaten Wonogiri melaporkan bahwa gaplek merupakan bahan pangan yang selalu tersedia dalam keluarga (95% dari n= 185). Hal ini dilakukan keluarga tersebut dengan pertimbangan pada kondisi alam yang sangat sukar ditebak, seperti musim, gagal panen ataupun bencana alam. Melihat aspek tersebut maka gaplek merupakan bahan pangan yang dapat menjamin ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga (Suhardjo, 1989).
Dari aspek nilai gizi, gaplek menyediakan energi dengan kandungan per 100 gr sebesar 338 kilokalori, sedangkan dalam bentuk tepung gaplek, energi yang diberikan sebesar 363 kilokalori. Walaupun demikian, tepung gaplek hanya memiliki kandungan protein yang rendah yaitu sekitar 1.1 gram per 100 gram tepung gaplek. Sisi lain yang menjadi keterbatasan bahan pangan gaplek adalah dari aspek cita rasa dan variasi pengolahan yang terbatas seperti yang didapatkan dari penelitian (Sugeng-Hidayat et al., 2000).
Hal inilah yang mendorong perlunya pengkayaan zat gizi protein pada tepung gaplek melalui bahan makanan substitusi dengan mendayagunakan sumber hasil pertanian lainnya seperti kedelai yang produksinya cukup besar di wilayah kabupaten Wonogiri. Protein merupakan sumber asam amino essensial yang diperlukan sebagai zat pembangun, terutama pada golongan rawan seperti bayi, balita, ibu hamil ataupun ibu menyusui (Karyadi, 1996).
Dari tabel diatas diketahui adanya kenaikan kadar protein secara nyata seiring dengan bertambahnya kuantitas tepung kedelai yang ditambahkan. Pada kelompok kontrol (tanpa tepung kedelai) diketahui rata-rata kadar protein relative rendah yaitu kurang dari 2 gr %. Hasil inilah yang mungkin menjadi dasar penelitian ini di mana menurut hasil konversi dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) juga diketahui bahwa hanya terdapat 1,1 gr % kandungan protein pada gaplek (Sugeng-Hidayat et al., 2000).
            Kedelai merupakan bahan makanan dalam kelompok kacang-kacangan yang memiliki total asam amino essensial terbesar (15492 mg %) dengan skor asam amino yang tertinggi (57). Leusin, Lisin, Fenilalanin clan Valin merupakan jenis asam amino essensial yang terkandung dalam jumlah cukup besar pada kedelai (Depkes-RI, 1990).
            Dari hasil substitusi tepung kedelai pada tepung gaplek dapat disimpulkan bahwa nilai protein akan semakin tinggi apabila semakin banyak tepung kedelai yang ditambahkan. Namun demikian perlu diketahui bahwa beberapa sifat yang menjadi kekurangan dari bahan kacang kedelai adalah aroma langu yang ditimbulkan. Sehingga perlu dilakukan pengkajian pada penambahan berapa persen dari tepung kedelai yang bisa memberikan daya terima masyarakat yang tinggi tanpa semata-mata
difokuskan pada jumlah kadar protein yang diberikan.




Bab III
Penutup
Dari beberapa uraian dalam pengaplikasian protein diatas maka diperoleh beberapa kesimpulan antara lain:
Pengaruh Penambahan Isolat Protein Koro Pedang (Canavalia ensiformis L.) Terhadap Karakteristik Cake
Penambahan isolat protein koro pedang mempengaruhi karakteristik cake yang dihasilkan. Pada konsentrasi rendah, penambahan isolat protein menyebabkan penambahan volume, pengurangan berat jenis, dan melunakkan tekstur cake yang dihasilkan. Namun penambahan yang berlebihan dapat menurunkan volume, meningkatkan berat jenis, dan mengeraskan tekstur cake yang dihasilkan. Penambahan isolat protein koro pedang hanya berpengaruh kecil terhadap baking loss dari cake yang dihasilkan. Lebih lanjut, semakin besar penambahan isolat protein, semakin rendah kecepatan staling dari cake. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa karakteristik cake dapat diperbaiki dengan penambahan isolat protein sebesar 1% dari jumlah tepung terigu. Namun demikian, karena isolat ini masih mengandung protein yang rendah maka diperlukan usaha untuk memperbaiki proses isolasi hingga dihasilkan isolat protein yang baik. Dengan demikian jumlah penambahan isolat protein pada cake pun dapat dikurangi.

Pengaruh Penambahan Kacang Tunggak (Vigna Unguiculata) dan Konsentrasi Bahan Penggumpal (CaSO4) Pada Sifat-sifat Tahu Sutera Yang Dihasilkan
Kesimpulan penelitian pembuatan tahu sutera dari kedelai yang disubstitusi kacang tunggak dengan berbagai konsentrasi bahan penggumpal adalah sebagai berikut :
1. Kesimpulan Umum : Tahu sutera bisa dibuat dari kedelai yang disubstitusi dengan kacang tunggak, dan pada konsentrasi bahan penggumpal dihasilkan tahu sutera yang bertekstur halus, kompak dan disukai panelis.
2. Kesimpulan Khusus :
a. Semakin banyak substitusi kacang tunggak akan menghasilkan tahu yang semakin lunak, kadar air semakin besar dan semakin tidak disukai panelis. Kadar bahan penggumpal (CaSO4) semakin besar tekstur semakin kompak dan kadar protein semakin besar.
b. Tahu sutera yang masih disukai oleh panelis yaitu yang terbuat dari kedelai 80% dan kacang tunggak 20% dengan bahan penggumpal 12 g/kg kedelai dengan criteria : kadar air 78,41% (bb), kadar protein 56,19% (bk), rendemen 229% dan tekstur 2,86 N.

Pengaruh Substitusi Tepung Kedelai Terhadap Kadar Protein Dan Daya Terima Tepung Gaplek Serta Hasil Olahannya
Rata-rata kadar protein pada kelompok kontrol (tanpa substitusi tepung kedelai) relatif rendah, yaitu kurang dari 2,00 gram %; dan nilai protein akan semakin tinggi apabila semakin banyak substitusi tepung kedelai yang ditambahkan. Namun demikian tingginya kadar protein belum cukup memberikan daya terima yang baik dari masyarakat
Penilaian secara keseluruhan menunjukkan ada kecenderungan penurunan skor pada aspek rasa, aroma dan tekstur seiring dengan substitusi konsentrasi tepung kedelai yang semakin tinggi. Konsentrasi yang dianjurkan adalah substitusi tepung kedelai 10 %, karena dengan konsentrasi tersebut memberikan daya terima yang paling baik serta sumbangan kadar protein cukup tinggi (mencapai 4,6931 gram %).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar