SentragadingNews, MINYAK kelapa sawit atau populer disebut CPO (Crude
Palm Oil) merupakan primadona ekspor. Lima tahun belakangan, Indonesia
menjadi penghasil terbesar minyak sawit di dunia. Menggeser posisi
malingsia yang sebelumnya merajai produk ini. Dari kekuatan produksi
sebesar 16,5 juta ton pada tahun 2006, kini hasil minyak sawit Indonesia
mencapai di atas 20 juta ton.
Industri sawit berkontribusi pada penerimaan negara sebesar 16 miliar
dollar AS pada 2011. Penikmat rejeki sawit pun cukup banyak. Empat juta
orang yang bekerja di industri ini dapat menghidupi 16 juta rumah
tangga. Kondisi ini menempatkan minyak sawit sebagai industri kedua
terpenting setelah minyak bumi.
Namun, tak lama lagi posisi bisnis ini bakal tergelincir gara-gara aksi
Amerika Serikat. Akhir Januari lalu, lembaga perlindungan lingkungan
Amerika Serikat, Environmental Protection Agency’s, mengeluarkan hasil
studi yang terangkum dalam Notice of Data Availability (NODA) EPA.
Mereka menyebutkan, CPO Indonesia hanya mampu mengurangi 17 persen emisi
gas rumah kaca dan 11 persen untuk renewable diesel. Padahal EPA
mensyaratkan pengurangan gas rumah kaca dari CPO untuk biofuel yang
ditoleransi sebesar 20 persen. Karena itu, minyak kelapa sawit tidak
dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Tegasnya, Amerika Serikat
enggan menerima lagi hasil sawit Indonesia.
Setali tiga uang, negara-negara Uni Eropa menyepakati rancangan EU
Directives on Renewable Energy Resource and Fuel Quality yang isinya
mendiskriminasi minyak sawit dari minyak-minyak nabati lainnya. Dalam
proposal EU Directive juga diatur target penggunaan biodiesel, yaitu
5,75 persen pada 2010 dan 10 persen pada tahun 2020 di 27 negara Uni
Eropa. notifikasi EPA Page 1
Masalahnya, proposal ini tidak memasukan CPO sebagai bahan baku biofuel
dengan dalih bahwa CPO Indonesia berasal dari lahan hasil penggundulan
hutan. Artinya, minyak sawit Indonesia untuk biofuel dilarang masuk ke
pasar Eropa. Jika negara lain seperti India dan China yang selama ini
mengimpor sawit Indonesia juga melakukan hal yang sama, maka industri
ini bakal wassalam. Sebab, sebagian besar hasil sawit kita diperuntukkan
bagi pasar luar negeri.
Sederet Curiga
Bertahun-tahun dinikmati Amerika maupun Eropa dan sejumlah negara lain,
minyak sawit Indonesia aman-aman saja. Tiba-tiba belakangan AS memprotes
keras pasokan dari Indonesia. Ada apa?
Ekonom Universitas Indonesia Aris Yunantho menengarai, protes AS itu
adalah urusan politik dagang. AS memaksa Indonesia untuk masuk ke dalam
perang dagang dunia karena minyak sawit merupakan pesaing utama minyak
nabati lain yang sudah ada di pasaran global. Produktivitas minyak sawit
Indonesia jauh lebih besar ketimbang minyak nabati lain yang diproduksi
AS. Gambarannya, minyak kedelai dari AS hanya mampu menggenjot produksi
sebesar 0,43 ton per hektar, sementara sawit dapat mencapai 3,65 ton.
Guna menghasilkan minyak kedelai sebanyak 23,5 juta ton, AS harus
menghabiskan luas lahan sebesar Texas. Sedangkan Indonesia cukup menanam
kelapa sawit di beberapa provinsi seperti Riau, Kalteng, Kalbar,
Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Negeri Paman Sam ini agaknya gentar jika Indonesia berjaya lewat dagang
sawit. Pemerintah Obama tak ingin sawit merajai bisnis minyak nabati.
Sekadar diingat, minyak nabati dibutuhkan oleh industri berpangsa pasar
besar seperti industri makanan, kecantikan, dan obat-obatan.
Aris menyimpulkan, persaingan kuat inilah yang mendorong para petani AS
melobi senator mereka untuk menekan Indonesia dengan berbagai isu yang
masih abu-abu, seperti isu lingkungan, HAM, dan perebutan lahan.
“Ini
akan menjadi senjata baru AS untuk lakukan proteksi,” ujar Aris
Yunantho.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Erik Satrya Wardhana setuju dengan pendapat
ini. Penolakan AS merupakan gempuran tahap ketiga dari kampanye hitam
atas industri sawit nasional. Gempuran pertama dilakukan melalui lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dalam negeri yang berafiliasi dengan lembaga
donor asing.
Serangan kedua berasal dari kelompok konsumen yang melakukan aksi
pemboikotan bahan mentah. Serangan ketiga, adanya pemberlakuan
standar–standar baru dalam perdagangan sawit yang berujung pada
penolakan terhadap ekspor sawit Indonesia.
Menurut Erik, Amerika dan Uni Eropa membuat berbagai regulasi
perdagangan non tariff barrier pada minyak sawit sebagai bahan baku
biofuel. Sehingga menghambat ekspansi industi sawit Indonesia. “Isu
lingkungan dipakai untuk memproteksi pengusaha dan pasar lokal mereka,”
ujarnya.
Kecurigaan lain juga muncul dari anggota Komisi VI DPR Refrizal.
Menurutnya, notifikasi yang disampaikan pemerintah Amerika soal minyak
sawit Indonesia yang tidak memenuhi standar energi terbarukan adalah
trik dagang belaka.
"Minyak sawit Indonesia memenuhi standar, semuanya.
Dia pikir minyak sawit yang berasal dari malingsia atau Singapura juga
bukan dari Indonesia," kata Refrizal sengit.
Adanya notifikasi dari AS dan rancangan regulasi dagang Uni Eropa kini
menempatkan industri sawit Indonesia dalam posisi siaga tiga. Karena
hasil industri sawit nasional umumnya dialirkan ke luar negeri. Jika
ekspor terbendung di berbagai pasar strategis, hasil produksi sawit yang
melimpah akan dibawa ke mana?
DPR sejak dulu mengingatkan pemerintah dan pengusaha untuk tidak fokus
pada ekspor dan hanya mengandalkan pasar Amerika. "Saya sudah lama
mengingatkan mereka untuk tidak hanya menjual minyak, tetapi diolah di
dalam negeri sehingga memiliki nilai tambah," ujarnya.
jurnalparlemen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar