Selasa, 08 Mei 2012

Eropa dan Amerika Iri dan Dengki Dengan Sawit Indonesia?

SentragadingNews, MINYAK kelapa sawit atau populer disebut CPO (Crude Palm Oil) merupakan primadona ekspor. Lima tahun belakangan, Indonesia menjadi penghasil terbesar minyak sawit di dunia. Menggeser posisi malingsia yang sebelumnya merajai produk ini. Dari kekuatan produksi sebesar 16,5 juta ton pada tahun 2006, kini hasil minyak sawit Indonesia mencapai di atas 20 juta ton.
   
Industri sawit berkontribusi pada penerimaan negara sebesar 16 miliar dollar AS pada 2011. Penikmat rejeki sawit pun cukup banyak. Empat juta orang yang bekerja di industri ini dapat menghidupi 16 juta rumah tangga. Kondisi ini menempatkan minyak sawit sebagai industri kedua terpenting setelah minyak bumi.

Namun, tak lama lagi posisi bisnis ini bakal tergelincir gara-gara aksi Amerika Serikat. Akhir Januari lalu, lembaga perlindungan lingkungan Amerika Serikat, Environmental Protection Agency’s, mengeluarkan hasil studi yang terangkum dalam Notice of Data Availability (NODA) EPA.

Mereka menyebutkan, CPO Indonesia hanya mampu mengurangi 17 persen emisi gas rumah kaca dan 11 persen untuk renewable diesel. Padahal EPA mensyaratkan pengurangan gas rumah kaca dari CPO untuk biofuel yang ditoleransi sebesar 20 persen. Karena itu, minyak kelapa sawit tidak dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Tegasnya, Amerika Serikat enggan menerima lagi hasil sawit Indonesia.

Setali tiga uang, negara-negara Uni Eropa menyepakati rancangan EU Directives on Renewable Energy Resource and Fuel Quality yang isinya mendiskriminasi minyak sawit dari minyak-minyak nabati lainnya. Dalam proposal EU Directive juga diatur target penggunaan biodiesel, yaitu 5,75 persen pada 2010 dan 10 persen pada tahun 2020 di 27 negara Uni Eropa. notifikasi EPA Page 1

Masalahnya, proposal ini tidak memasukan CPO sebagai bahan baku biofuel dengan dalih bahwa CPO Indonesia berasal dari lahan hasil penggundulan hutan. Artinya, minyak sawit Indonesia untuk biofuel dilarang masuk ke pasar Eropa. Jika negara lain seperti India dan China yang selama ini mengimpor sawit Indonesia juga melakukan hal yang sama, maka industri ini bakal wassalam. Sebab, sebagian besar hasil sawit kita diperuntukkan bagi pasar luar negeri.



Sederet Curiga

Bertahun-tahun dinikmati Amerika maupun Eropa dan sejumlah negara lain, minyak sawit Indonesia aman-aman saja. Tiba-tiba belakangan AS memprotes keras pasokan dari Indonesia. Ada apa?

Ekonom Universitas Indonesia Aris Yunantho menengarai, protes AS itu adalah urusan politik dagang. AS memaksa Indonesia untuk masuk ke dalam perang dagang dunia karena minyak sawit merupakan pesaing utama minyak nabati lain yang sudah ada di pasaran global. Produktivitas minyak sawit Indonesia jauh lebih besar ketimbang minyak nabati lain yang diproduksi AS. Gambarannya, minyak kedelai dari AS hanya mampu menggenjot produksi sebesar 0,43 ton per hektar, sementara sawit dapat mencapai 3,65 ton. Guna menghasilkan minyak kedelai sebanyak 23,5 juta ton, AS harus menghabiskan luas lahan sebesar Texas. Sedangkan Indonesia cukup menanam kelapa sawit di beberapa provinsi seperti Riau, Kalteng, Kalbar, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

Negeri Paman Sam ini agaknya gentar jika Indonesia berjaya lewat dagang sawit. Pemerintah Obama tak ingin sawit merajai bisnis minyak nabati. Sekadar diingat, minyak nabati dibutuhkan oleh industri berpangsa pasar besar seperti industri makanan, kecantikan, dan obat-obatan.

Aris menyimpulkan, persaingan kuat inilah yang mendorong para petani AS melobi senator mereka untuk menekan Indonesia dengan berbagai isu yang masih abu-abu, seperti isu lingkungan, HAM, dan perebutan lahan.
“Ini akan menjadi senjata baru AS untuk lakukan proteksi,” ujar Aris Yunantho.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Erik Satrya Wardhana setuju dengan pendapat ini. Penolakan AS merupakan gempuran tahap ketiga dari kampanye hitam atas industri sawit nasional. Gempuran pertama dilakukan melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam negeri yang berafiliasi dengan lembaga donor asing.

Serangan kedua berasal dari kelompok konsumen yang melakukan aksi pemboikotan bahan mentah. Serangan ketiga, adanya pemberlakuan standar–standar baru dalam perdagangan sawit yang berujung pada penolakan terhadap ekspor sawit Indonesia.

Menurut Erik, Amerika dan Uni Eropa membuat berbagai regulasi perdagangan non tariff barrier pada minyak sawit sebagai bahan baku biofuel. Sehingga menghambat ekspansi industi sawit Indonesia. “Isu lingkungan dipakai untuk memproteksi pengusaha dan pasar lokal mereka,” ujarnya.

Kecurigaan lain juga muncul dari anggota Komisi VI DPR Refrizal. Menurutnya, notifikasi yang disampaikan pemerintah Amerika soal minyak sawit Indonesia yang tidak memenuhi standar energi terbarukan adalah trik dagang belaka.

"Minyak sawit Indonesia memenuhi standar, semuanya. Dia pikir minyak sawit yang berasal dari malingsia atau Singapura juga bukan dari Indonesia," kata Refrizal sengit.

Adanya notifikasi dari AS dan rancangan regulasi dagang Uni Eropa kini menempatkan industri sawit Indonesia dalam posisi siaga tiga. Karena hasil industri sawit nasional umumnya dialirkan ke luar negeri. Jika ekspor terbendung di berbagai pasar strategis, hasil produksi sawit yang melimpah akan dibawa ke mana?

DPR sejak dulu mengingatkan pemerintah dan pengusaha untuk tidak fokus pada ekspor dan hanya mengandalkan pasar Amerika. "Saya sudah lama mengingatkan mereka untuk tidak hanya menjual minyak, tetapi diolah di dalam negeri sehingga memiliki nilai tambah," ujarnya.
jurnalparlemen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar