Sampai
saat ini, Indonesia masih sangat kekurangan dokter ahli bedah. Dengan
jumlah penduduk 240 juta jiwa, dokter ahli bedah yang dimiliki baru 120
orang atau rasionya 1 : 2 juta. Artinya, satu orang dokter bedah harus
melayani 2 juta penduduk.
Dari
jumlah yang sedikit itu, Prof dr Eka Julianta Wahyoepramono adalah
salah satunya. Spesialisasinya pada ahli bedah syaraf (neurosurgeon),
khususnya bedah batang otak, tentu saja membuat dr Eka Julianto makin
menjadi orang dengan profesi yang langka di negeri ini.
Sebagai
ahli bedah syaraf, nama dr Eka Julianta tak diragukan lagi. Reputasinya
tidak hanya di tingkat nasional, tetapi sudah mendunia. Misalnya, dia
adalah visiting professor di Harvard
University Medical School. Prestasi ini sampai saat ini belum bisa disamai oleh dokter-dokter Indonesia lainnya.
Alasan
seperti itulah yang membuat Pitan Daslani kemudian menuliskan biografi
dr Eka Julianta. Pada Kamis (25/2/2010) siang, buku yang diberi judul
Tinta Emas di Kanvas Dunia itu diluncurkan di Toko Buku Gramedia
Matraman, Jakarta Timur.
Kenapa
diberi judul "Tinta Emas"? Bukankah sebagai dokter bedah mestinya dr
Eka biasa memegang pisau dan peralatan-peralatan bedah lainnya? Rupanya
Pitan punya alasan sendiri. "Dokter Eka telah menorehkan tinta emas
dalam sejarah kedokteran, ketika untuk pertama kalinya dokter Indonesia
dijadikan sebagai referensi bagi dokter dan mahasiswa kedokteran di
seluruh dunia," katanya.
Dr Eka Julianta Wahjoepramono adalah satu-satunya dokter yang mendapat rekor dari Museum Rekor Indonesia.
Ia
tercatat sebagai dokter pertama dan satu-satunya di Indonesia yang
berhasil membedah batang otak pasien. Sukses ini juga yang melambungkan
namanya ke kancah internasional, dan disegani dokter-dokter bedah saraf
dunia.
"Saat
ini juga, Dokter Eka saya nyatakan dicatatkan di rekor Muri, karena
prestasinya berhasil membedah batang otak," ujar pendiri Muri Jaya
Suprana saat peluncuran buku biografi Dr Eka berjudul Tinta Emas di
Kanvas Dunia di Toko Buku Gramedia, Matraman, Jakarta Timur, Kamis
(25/2).
Menurut
Jaya Suprana, yang juga pemilik perusahaan Jamu Jago Indonesia,
prestasi Dr Eka luar biasa. "Sepengetahuan saya, batang otak tidak boleh
diutak-atik. Tabu. Saking tabunya, batang otak disebut urusan Tuhan.
kalau Dokter Eka menjadi bisa mengutak-atik batang otak, berardi anda
ini sudah bagian dari Tuhan," kata Jaya, yang dikenal sebagai pemusik
dan suka melawak.
Penulis
Buki Tinta Emas di Kanvas Dunia , Pitan Daslani mengatakan, sudah
mengecek se-Asia, sejauh ini, baru Dr Eka yang pertama dan berhasil
membedah batang otak.
Prestasi
membedah otak berawal 20 Februari 2001. Ketika itu, Ardiansyah, warga
Merak, Banten, datang dalam kondisi kritis. Buruh nelayan berusia
sektiar 20 tahun itu datang dalam kondisi saraf-saraf lumpuh, kaki dan
tangan lumpuh, mata pun melotot, napas tersengal-sengal. Setelah
didiagnosa, Ardiansyah ini terkena tumor kavernoma yang telah pecah di
pons atau batang otak.
"Saat
itu, dunia termasuk dokter bedah saraf pun belum berani mengutak-atik
batang otak. Karena kalau salah sedikit, pasti mati atau lumpuh. Tapi
karena pilihannya mati atau hidup, saya beranikan diri membedah batang
otak Pak Ardiansyah ini," ujar Dr Eka sambil menunjuk Ardiansyah yang
berdiri di sampingnya.
Ardiansyah
soerang yatim piatu. Saat itu dia datang diantar seorang kakaknya.
Dalam peluncuran buku kemarin, ia juga memberi kesaksian. "Saya sudah
pasrah, karena sakitnya. Alhamdulillah, dokter Eka ini dapat merawat.
Saya ucapkan terima kasih," ujar Ardiansyah.
Selain
Ardiansyah, ada lagi pasien miskin, Jumiati. Mahmud, suaminya, kepala
sekolah swasta di Cengkareng, Jakarta Barat. Untuk memenuhi kebutuhan
keuangan keluarga, Mahmud bekerja sambilan sebagai pemulung sampah.
Operasi Ardiansyah dan Jumiati dilayani Dr Eka secara cuma-cuma di RS
Siloam.
Bedah
buku dipandu presenter Kick Andi, Andi F Noyo dengan pembicara Dr Eka,
pendiri Museum Rekor Indonesia (Muri) Jaya Suprana, dan penulis buku
Pitan Daslani. Sejumlah pasien yang berhasil diselamatkan hadir dan
memberi kesaksian, keluarga mantan pasien yang gagal operasi dan
meninggal pun tetap memuji karya dokter Eka.
Pasien
lainnya, anggota TNI Angkatan Udara Kolonel Budi Laksono, mengatakan
kesalutannya akan keberhasilan Dr Eka memulihkan kondisi kesehatannya
dari serangan stroke. "Saya sudah 10 tahun menderita stroke. Dulu saya
pilot TNI AU untuk pesawat Falcon-15 (F-15) dan F-16, dan Hercules.
Walau tidak bisa lagi bermain-main di udara, saya bersyukur karena bisa
karena bisa aktif di TNI AU sebai staf," ujar Budi.
Pujian
lainnya dikemukakan Ny Lana Sarwono, janda Sarwono gagal saat mengalami
operasi kedua kali. "Semula, saya mengalami pergulatan batin, mengapa
Dokter Eka gagal menyelamatkan suami saya. Tetapi akhirnya saya dapat
menerima, inilah takdir dari Tuhan dan saya mengikhlaskan suami saya
pergi," kata Lana, sebelum menerima buku biografi Dr Eka berjudul Tinta
Emas di Kanvas Dunia.
Lana
melanjutkan, di balik kegagalan operasi otak suaminya, masih ada
hikmah. Lana menandaskan, "Saya berharap kiranya Dokter Eka dapat
menyelamatkan lebih banyak, ratusan bahkan ribuan orang penderita otak."
2. Prof. dr. Sri Suparyati, Sp.A.(K), Ph.D.,
Prof.
dr. Sri Suparyati, Sp.A.(K), Ph.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada (UGM) menerima penghargaan internasional sebagai
dokter spesialis anak terbaik dari Asosiasi Dokter Anak Asia-Pasifik
atau APPA. Penghargaan Outstanding Asian Pediatric Award tersebut
diterimanya akibat prestasi-prestasinya yang dianggap menonjol dalam
penelitian mengenai penyakit diare pada anak selama tiga tahun terakhir.
Penghargaan diberikan dalam konferensi APPA di Shanghai, China, yang
berlangsung pada tanggal 4 – 18 Oktober 2009.
Penghargaan
Outstanding Asian Pediatric Award sendiri diberikan setiap tiga tahun
sekali. Pada tahun ini, Prof. dr. Sri Suparyati, Sp.A.(K), Ph.D. menjadi
salah satu dari 12 dokter anak yang menerima penghargaan. Dan mereka
pun telah dipilih dari 2.500 dokter anak se-Asia Pasifik.
Penghargaan
tersebut merupakan buah dari perjuangannya selama 40 tahun dalam
meneliti penyakit diare pada anak. Bersama Prof. Ruth Bishop dari
Australia, ia meneliti infeksi yang disebabkan oleh rotavirus pada
penderita diare di Indonesia. Penelitian ini menemukan hasil yang
mengejutkan bahwa ternyata rotavirus lah yang menjadi penyebab utama
penyakit diare di Indonesia.
Ia
mengatakan sebagian besar bayi penderita diare yang disebabkan
rotavirus memiliki kualitas hidup yang rendah. Bayi mengalami muntah
secara terus-menerus, berak air, dan susah mengonsumsi makanan. Usus
halusnya pun tak dapat berfungsi dengan baik.
Hasil penelitian tersebut pada akhirnya mengubah terapi pengobatan
Penemuan
ini mengubah terapi pengobatan diare yang sebelumnya lebih banyak
menggunakan antibiotik. Hasil penemuan tersebut pada akhirnya mendorong
Pemerintah Indonesia untuk memproduksi vaksin rotavirus dengan harga
yang cukup murah. Sebab, vaksin diare yang ada selama ini relatif mahal.
Bekerja sama dengan Melbourne University dan PT Biofarma, vaksin
tersebut direncanakan akan dipasarkan mulai tahun 2012 di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar